Oleh : Yopi Sabara __ Ketua Kerukunan Masyarakat Kecamatan Bahodopi – Morowali (KMKB-Morowali)
Di linimasa sosial media saat ini, euforia berupa status dari orang-orang yang merayakan hari lingkungan hidup sedunia banyak bertebaran. Sekilas tidak ada yang salah dengan hal tersebut sebab perayaan hari lingkungan hidup memang sering kali dijadikan momentum untuk menyerukan tindakan nyata dalam upaya pelestarian lingkungan dan ekosistem bumi yang telah rusak.
Saya pun demikian adanya. Di hari lingkungan hidup sedunia yang jatuh pada hari ini, saya ingin speak-up soal berita yang juga berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup. Beritanya sih sudah cukup lama, namun dalih kemudahan investasi yang berujung pada “Legitimasi Perusakan Lingkungan” secara tidak langsung menjadi ancaman bagi keberlangsungan makhluk hidup ke depan.
Apalagi setelah adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk memudahkan iklim investasi di Indonesia. Para investor/pemilik modal berbondong-bondong berusaha menanamkan modalnya. Hal ini tentu saja menjadi kabar membahagiakan sekaligus membanggakan buat kita. Pasalnya, saat beberapa negara kesulitan untuk mendapatkan investor dengan berbagai usaha dan promosi, negara kita malah didatangi tanpa butuh effort yang lebih. Ini menjadi salah satu bukti bahwa saat ini, Indonesia menjadi primadona sebagai tempat yang cocok untuk berinvestasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya industri nikel, emas, batu bara, dan sederet industri lainnya yang berdiri beberapa tahun terakhir.
Namun, menggeliatnya bangunan pabrik dan komponen pendukung lainnya di Indonesia terutama di Kabupaten Morowali acap kali berakhir menyedihkan. Layaknya kalimat bijak, iklim investasi di Morowali berawal manis dan berujung kepahitan. Awalnya menggemberikan, ujungnya mengkhawatirkan. Awalnya harapan, ujungnya jadi mala petaka.
Bagaimana tidak, pabrik dan komponen pendukungnya telah terpancang dan berdiri kokoh di belakang pemukiman warga dengan jarak hanya ratusan meter saja. Bangun dulu pabrik dan komponen pendukung lainnya nanti kita bahas AMDALnya. Kring kring, Gaskeun.
Kalau sudah seperti ini, siapa yang akan bertanggung jawab atas dampak lingkungan dan bencana lainnya yang mungkin ditimbulkan akibat terlalu dekatnya pabrik-pabrik itu dengan pemukiman warga ?
Radiasi, polusi suara, polusi debu batu bara, menjadi sederet ancaman mematikan untuk warga sekitar.
Desa Labota di Kecamatan Bahodopi misalnya, baru-baru ini menarik perhatian warga sekitar termasuk saya pribadi. Asli bikin tercengang sekaligus mengerikan untuk kehidupan jangka panjang. Bangunan besar dan tinggi yang digadang-gadang sebagai salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batu bara berdiri persis di belakang pemukiman warga. Padahal PLTU yang menghasilkan panas listrik pada siklus pembakarannya juga menghasilkan polutan lain yang cukup berbahaya bagi kesehatan maupun lingkungan. Polutan berupa SOx, NOx, CO dan partikel berupa fly ash yang dikeluarkan melalui cerobong asap bisa dihembuskan oleh angin dan terbawa hingga ke pemukiman warga yang tinggal di dekat PLTU tersebut. Tidak hanya di Desa Labota, Desa Fatufia pun mengalami hal yang sama. Jetty/pelabuhan Perusahaan yang berada persis dibelakang rumah warga pun tak luput dari tumpukan batu bara.
Laporan terbaru dari World Health Organization (WHO) tahun 2018 menyebutkan bahwa 7 juta orang tewas tiap tahun karena polusi udara. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard University–Atmospheric Chemistry Modeling Group disebutkan bahwa kematian dini yang diakibatkan oleh polusi udara dari operasi PLTU batubara telah menyebabkan kematian sekitar 6.500 jiwa per tahun. Angka tersebut akan meningkat menjadi 15.700 jiwa/tahun jika pembangunan PLTU batubara terus berlanjut. Selain itu, pada tahun 2008 Indonesia juga menyumbang pembakaran batubara sekitar 50% dari emisi SO2 yang terkait sektor energi, 30% dari emisi PM10 dan 28% dari emisi NOx5. Sungguh mengerikan !
Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU juga harus mengeluarkan biaya berlebih jika sakit sebab penyakit yang ditimbulkan bukan sakit biasa seperti demam atau semacamnya. Tetapi penyakit berupa resiko kanker paru-paru, stroke, dan penyakit jantung. Di sisi lain kerentanan terhadap anak kecil, bayi, ibu hamil dan orang tua/lansia juga meningkat karena efek akut dari polusi udara yang disebabkan oleh polutan PLTU tersebut.
Belum lagi jika membahas pencemaran lingkungan, dampak yang ditimbulkan akan lebih serius. Polutan dari PLTU bisa memengaruhi keseimbangan ekosistem laut, terbatasnya ruang terbuka hijau, cuaca yang semakin memanas, dan tingkat polusi yang tinggi. Padahal jika kita mengacu pada makna yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan secara jelas bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan.
Sekelumit persoalan di atas merupakan salah satu dari beberapa persoalan yang ditimbulkan akibat terlalu dekatny PLTU dengan pemukiman warga. Mirisnya lagi, warga sekitar telah ditipu karena perusahaan berdalih bahwa pembebasan lahan yang mereka lakukan semata-mata untuk pembangunan perumahan karyawan bukan pabrik apalagi pembangunan PLTU.
Jikalau demikian, masyarakat yang telah lebih dulu lahir, tinggal dan berencana mati di situ pun akan TERUSIK dan TERUSIR. Bisa jadi karena adanya kesepakatan antar warga dan pihak perusahaan maupun karena faktor lingkungan dan polusi udara yang tak ramah lagi untuk keberlangsungan hidup jangka panjang mereka menjadi salah satu alasan masyarakat meninggalkan kampung halamannya. Entahlah.
Ah sudahlah. Sebagai rakyat kecil, kita tidak bisa berbuat banyak, toh mereka (tidak perlu sebut nama) juga tidak peduli pada kepentingan rakyat. Mereka hanya mengatasnamakan rakayat tetapi nurani mereka hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri dan kelompoknya dengan menghalalkan segala macam cara. Kepentingan rakyat dikorbankan demi mengakomodir kepentingan para bandit kapitalis yang merusak tatanan alam, tak peduli seberapa besar dampak yang ditimbulkan. Rakus sekali.
Udara, tanah, dan laut telah dicemari, apa jadinya generasi mendatang. Di hari lingkungan hidup sedunia ini, saya hanya ingin berkata :
“Sampai jumpa di kehidupan dengan bumi yang berbeda karena bumi sebelumnya sudah tak layak huni lagi”.