RadarNasional-17 April 1996, merupakan salah satu hari yang kelam bagi kaum tani di seluruh dunia, dimana tragedi terjadi di El Dorado dos Carajas, Brasil, sembilan belas petani tak bertanah yang mempertahankan hak-hak mereka untuk memproduksi pangan dengan menuntut akses terhadap tanah dibunuh oleh polisi militer. Sejak tragedi tersebut, La Via Campesina menetapkan tanggal 17 April diperingati sebagai Hari Perjuangan Petani International.
Saat ini, jutaan petani di berbagai belahan dunia telah dipaksa untuk meninggalkan lahan pertanian mereka karena pengambilan lahan yang difasilitasi oleh kebijakan nasional dan juga internasional. Lahan diambil dari petani untuk pembangunan industri skala besar atau proyek-proyek infrastruktur, industri ekstraksi seperti pertambangan, kawasan wisata, kawasan ekonomi khusus, kawasan konservasi dan perkebunan Hasilnya, jumlah lahan hanya terkonsentrasi pada beberapa pihak. Karena kehilangan lahan, masyarakat petani juga kehilangan kedaulatan dan identitas kebudayaannya. Hal ini diperparah dengan sistem tanam monokultur untuk menghasilkan bahan bakar nabati dan untuk kegunaan industri lainnya didorong demi keuntungan modal agribisnis dan transnasional, hal ini menyebabkan kerusakan hutan, air, lingkungan, dan kehidupan sosial ekonomi petani.
Menghadapi kenyataan ini, petani di seluruh dunia tidak pernah berhenti berjuang. Dimulai dengan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani di Cibubur Jakarta pada tahun 2001, sejak konferensi tersebut juga Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama elemen gerakan rakyat lainnya menetapkan tanggal 20 April sebagai Hari Hak Asasi Petani Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan serangkaian kegiatan serupa yang bermuara pada lahirnya Deklarasi Hak Asasi Petani Internasional pada Konferensi Hak Asasi Petani Internasional tahun 2008, membuktikan konsistensi perjuangan kaum tani dalam mempromosikan dan menegakkan hak-hak mereka.
Advokat Rakyat Agussalim SH terkait dengan HUT ini menyampaikan tuntutan agenda Land Grab di daerah dimana dikuasai oleh Rejim Konservasi sepery Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean (TNLT).
Menurut Advokat Rakyat Agussalim SH, ” coba dipastikan, satu satunya propinsi di Indonesia yang memiliki proteksi Agraria yang mengatasnamakan Konservasi ada di Sulawesi Tengah., Ini tidak adil secara hukum dan ekonomi sosial budaya yang luas dari Taman Nasional tersebut diatas 100 ribu hektare.jelasnya
Selain itu, Sejak lama saya gugat hal semacam ini kata Agussalim SH, sebab aturan teknisnya hanya bersandar pada UU Konservasi No. 5 Tahun 1990.
“Ini kan UU Rejim Orde Baru”.kok masih dipakai..?
Sementara kata Agussalim SH, ada TAP MPR No IX Tahun 2001 dimana saya terlibat saat itu merumuskannya.
Selain UU bagi Petani seperti UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 mencerminkan Konstitusi kita pada pelaksanaan Reforma Agraria.
Bayangkan saja kata Agussalim SH bahwa Pasal 5 ayat (1) huruf b TAP MPR tersebut menyebutkan perihal arah kebijakan pembangunan agraria, mengarahkan eksekutif maupun legislatif untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat.
“Terus UU Konservasi itu basisnya apa”!!!…Tegas Agus
lebih lanjut ,Jika tuntutan Interracial akan konservasi Global, cantolannya dimana..? Sementara Kaum Tanu memiliki basis hukum Internasional dan Nasional, ini yang harus diluruskan setiap Rejim berkuasa di Indonesia.
Saya hanya katakan, TNLL dan TNLT Togean harus di enclave, itu jalan keluar kalau mau tidak ditutup tegas Agussalim SH selaku Advokat Rakyat.