Radarnasional,Parigi Moutong – Masyarakat Desa Buranga, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), dengan tegas menolak aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) yang kembali beroperasi di wilayah mereka. Trauma atas insiden longsor tahun 2021 yang menelan tiga korban jiwa menjadi alasan utama penolakan tersebut.
Usman Laminu, salah satu warga setempat, menegaskan bahwa masyarakat tidak ingin kejadian tragis itu terulang. “Kita takut kejadian dulu yang sudah menelan korban jiwa. Dan itu tidak jelas siapa yang mau bertanggung jawab,” ujarnya saat diwawancarai awak media, Minggu (2/2/25).
Menanggapi klaim bahwa tambang di Buranga telah memiliki izin pertambangan rakyat (IPR), Usman membantahnya. Ia meminta agar pemerintah daerah, termasuk OPD terkait, turun langsung ke lapangan untuk membuktikan legalitasnya.
“Silakan turun langsung ke Buranga, rapat di sana dan tunjukkan bahwa ini memang sudah punya izin. Sekarang ini masyarakat masih bingung, di mana letak izinnya. Kalau memang objektif dengan persoalan ini, tentu mereka hadir dan memastikan semua dibuat dengan mekanisme yang benar. Di sana itu banyak lubang-lubang yang berbahaya,” tegas Usman.
Ia mengungkapkan bahwa masyarakat telah mengirimkan surat resmi ke Polres dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk meminta kejelasan status tambang tersebut. Bagi mereka, keberadaan tambang rakyat seharusnya memberdayakan masyarakat, bukan dikuasai oleh pihak tertentu.
“Kami bangga kalau ada kegiatan tambang yang benar di sana, karena menyangkut pemberdayaan ekonomi rakyat. Tapi kalau itu IPR, seharusnya masyarakat yang mengelola, bukan pihak luar,” ujarnya.
Usman juga meminta Gubernur Sulawesi Tengah, Dinas Lingkungan Hidup, serta Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk turun langsung ke Buranga dan memastikan bahwa izin yang diterbitkan tidak hanya sekadar formalitas di atas meja. Ia khawatir jika izin tidak memiliki dasar yang jelas, akan terjadi konflik di masyarakat.
“Kalau memang legal, masyarakat pasti merasa aman dan semua diatur. Sekarang ini tidak ada yang tahu siapa yang bertanggung jawab. Kami tidak menolak tambang, tapi legalitas harus jelas dan harus ada sosialisasi ke masyarakat,” katanya.
Senada dengan Usman, Anwar, warga Dusun 6, juga mengaku terdampak langsung oleh aktivitas tambang ilegal. Ia menyayangkan kurangnya transparansi pemerintah desa dalam pengelolaan tambang tersebut.
“Saya yang terkena dampaknya. Kepala desa tidak ada keterbukaan dengan masyarakat, sehingga kami menjadi bingung. Jangan hanya menggunakan nama masyarakat sebagai alasan, tapi tidak ada bukti nyata untuk kesejahteraan kami,” ujar Anwar.
Masyarakat berharap ada pertemuan resmi antara pemerintah, pengelola tambang, dan warga agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan transparan. Mereka mendesak agar izin tambang diperiksa kembali dan mekanisme pengelolaannya disusun dengan melibatkan masyarakat secara langsung.