Nikel Versus Rakyat: Moratorium atau Reformasi Tata Kelola?

oleh -788 Dilihat

Radarnasional, Palu– Kerusakan ekologi di Sulawesi menjadi sorotan tajam dalam diskusi tentang dampak industri nikel di Indonesia.

Bisnis oligarki dan imperialisme global dituding sebagai dalang kerusakan lingkungan dan penggusuran masyarakat lokal, seiring dengan meningkatnya kebutuhan pasar global akan energi terbarukan, termasuk kendaraan listrik.

Advokat Rakyat Agussalim, SH, menegaskan bahwa hilirisasi nikel sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya menjadi ilusi.3/12/2024

“Di Morowali, Sulawesi Tengah, salah satu penghasil nikel terbesar, tingkat kemiskinan masih mencapai 12,31% hingga 2023. Uang dari pajak hanya sekitar 2,5% yang dinikmati daerah. Sebagian besar mengalir ke Tiongkok dan elite modal di Jakarta,” ujarnya.

Masalah Lingkungan dan Ekonomi Lokal

Eksploitasi nikel menyebabkan deforestasi, pencemaran lingkungan, dan pengusiran masyarakat adat.

Lebih dari itu, pembangunan smelter yang menggunakan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) menghasilkan produk berkualitas rendah yang lebih banyak digunakan untuk stainless steel, bukan bahan baku baterai kendaraan listrik.

Agussalim mengkritik penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar fosil untuk mendukung industri ini.

“Ironisnya, daerah penghasil seperti Morowali Utara sering mengalami pemadaman listrik setiap minggu, sementara energi dari PLTU lebih mengutamakan kebutuhan industri dibanding rakyat lokal,” tambahnya.

Solusi: Moratorium atau Transformasi?

Advokat Agussalim mendorong pemerintah untuk mengakhiri berbagai insentif fiskal dan membatasi ekspansi tambang serta smelter.

“Jika Prabowo ingin menekan kerusakan lingkungan dan menempatkan kedaulatan rakyat sebagai prioritas, pembatasan industri nikel harus segera dilakukan,” tegasnya.

Ia juga menyarankan pengembangan industri daur ulang baterai kendaraan listrik sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan.

“Paradigma bisnis nikel harus diubah. Jika hanya 5% nikel digunakan untuk baterai, sementara sisanya untuk sendok dan garpu, ini bukti nyata kegagalan,” kritiknya.

Tantangan Global dan Lokal

Dalam Konferensi COP29 di Baku, Azerbaijan, negara-negara maju berjanji menyediakan dana Rp4.780 triliun untuk mengatasi perubahan iklim akibat industri ekstraktif.

Namun, menurut Agussalim, bantuan tersebut tidak cukup jika tidak disertai dengan tanggung jawab nyata.

“UNFCCC menegaskan bahwa negara-negara maju harus bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka sebabkan, bukan hanya memberikan donasi,” pungkasnya.

Diskusi mengenai masa depan industri nikel menjadi semakin relevan di tengah ancaman overproduksi dan melemahnya pasar global.

Dalam konteks ini, Indonesia harus segera memilih jalan: melanjutkan eksploitasi atau mengambil langkah nyata untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.