Radarnasional,Palu, Sulawesi Tengah – Massa aksi yang tergabung dalam International League of Peoples’ Struggle (ILPS) Indonesia menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Senin (11/12). Aksi dimulai dari Kantor LBH Sulteng, dilanjutkan dengan long march menuju Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, dan berakhir di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah.
Kelompok massa ini terdiri dari berbagai organisasi seperti Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Solidaritas Tani dan Nelayan Donggala (STND), LBH Sulteng, LBH Morut, LBH Poso, Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulteng, Komite Perlindungan Agraria (KPA) Sulteng, hingga Dewan Kesenian Rakyat (DKR) Sulteng.
Mereka menyuarakan berbagai persoalan HAM di Sulawesi Tengah, khususnya konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
Suara Perempuan dan Petani Desa
Ketua SERUNI Sulawesi Tengah, Agustin, dalam orasinya menyampaikan bahwa sejak 2004 para petani Dongi-Dongi telah berjuang melawan stigma hukum konservasi di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
“Saat kami mulai merebut lahan di areal TNLL, negara belum menghargai arti HAM. Kini kami sadar, ada instrumen internasional yang melindungi hak kami sebagai petani dan perempuan desa,” ungkap Agustin.
Ketua Ranting SERUNI Desa Sibowi, Bu Rina, menambahkan bahwa petani dan masyarakat adat masih menghadapi ancaman kriminalisasi oleh aparat yang mengatasnamakan perlindungan ekosistem.
“Kami ditangkap dengan dalih merusak kawasan hutan, padahal kami hanya ingin bertani di tanah leluhur kami,” tegasnya.
Kritik terhadap Oligarki dan Kebijakan Negara
Advokat Rakyat dari SPHP, Agussalim SH, menyerahkan pernyataan resmi ILPS-FPR kepada perwakilan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dan Komnas HAM RI.
Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa negara sering kali berpihak pada oligarki dan kapitalisme birokrasi.
“Rakyat harus bangkit bersatu untuk menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam. Negara adalah milik rakyat, bukan oligarki yang membajak reformasi,” tegas Agussalim.
Senada, aktivis LBH Sulteng Ahmar Wellang menyebut bahwa keadilan hanya dapat diperjuangkan melalui aksi nyata, bukan sekadar mengandalkan sistem peradilan.
“Perkara yang kami tangani menunjukkan bahwa institusi negara sering menjadi penghambat keadilan bagi rakyat,” ujarnya.
Dampak Kerusakan Lingkungan
Perwakilan STND Desa Bou, Sadirman, menyoroti kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang Galian C yang merusak hutan dan tanaman masyarakat.
“Kami kehilangan tempat mengadu. Hak kami atas tanah dan sumber daya alam dirampas tanpa solusi dari pemerintah,” tegasnya.
Sepanjang aksi, massa meneriakkan yel-yel seperti “Ganyang Oligarki” dan “Rebut Hak Rakyat Indonesia”.
Mereka menyerukan perlawanan terhadap imperialisme, kapitalisme birokrasi, dan feodalisme.
Aksi diakhiri dengan damai saat massa kembali ke Kantor LBH Sulteng sebelum membubarkan diri menuju desa masing-masing.
Aksi ini menegaskan pentingnya perjuangan rakyat dalam memperjuangkan hak asasi, lingkungan, dan keberlanjutan hidup komunitas lokal.
AD