Radarnasional,Palu – Keberadaan adat di Tanah Kaili memiliki nilai penting yang harus dijaga bersama. Sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 18B Ayat 2, negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya selama masih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adat bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga menjadi kekuatan dalam menjaga keseimbangan alam.
Rencana pelaksanaan ritual adat di wilayah tambang Poboya menjadi salah satu tradisi yang harus dihargai dan didukung. Adat Kaili sendiri merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah yang mengatur berbagai aspek, mulai dari sosial, budaya, hingga spiritual. Kehormatan, tanggung jawab sosial, dan ketertiban menjadi inti dari nilai-nilai adat ini.
“Saya berharap ritual adat di wilayah tambang Poboya dapat berjalan dengan baik dan tetap menjaga marwah adat, keseimbangan tradisi, keamanan, serta kenyamanan masyarakat,” ujar DR. Drs. Timuddin DG Mangera Bauwo, M.Si, Wakil Ketua Badan Musyawarah Adat Provinsi Sulawesi Tengah dan Wakil Ketua I Dewan Adat Kota Palu.
Pentingnya menjaga nilai budaya dalam keseimbangan sosial juga disampaikan oleh Mehdiantara Datupalinge, tokoh muda pemerhati budaya dan adat Kota Palu. Menurutnya, adat mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk kehormatan, tanggung jawab sosial, dan ketertiban.
“Pelaksanaan adat yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ini dapat menimbulkan gangguan ketertiban umum dan merusak hubungan sosial,” tandasnya.
Dalam konteks adat Kaili, pelestarian budaya harus dilakukan dengan memperhatikan norma adat dan menjaga harmoni sosial. “Nemo ledo nturona ni potubona,” sebuah ungkapan adat yang menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan tradisi.
Selain itu, PT Citra Palu Mineral (CPM) juga menunjukkan dukungannya terhadap kegiatan adat ini, salah satunya dengan memasang spanduk/baliho di wilayah Poboya.
Doktor Timuddin menambahkan bahwa penyelesaian masalah adat saat ini dilakukan melalui pendekatan Restorative Justice, di mana setiap persoalan adat diselesaikan secara bertingkat melalui lembaga adat dari tingkat desa hingga provinsi.
“Apapun persoalan adat harus diselesaikan secara damai di lembaga adat. Ini sejalan dengan filosofi ‘Riumba tanarajeje risetu langit ratande’ yang berarti ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.’ Kita harus menjaga keamanan dan kenyamanan bagi siapa pun yang datang ke lembaga adat,” ujarnya.
Mengenai keberadaan PT CPM di Tanah Kaili, ia menegaskan bahwa selama perusahaan bekerja dengan baik dan tidak mengganggu ketenteraman masyarakat, keberadaannya dapat diterima.
“Terkait ritual adat di Poboya, selama pelaksanaannya aman dan menjaga persatuan, tidak ada masalah. Namun, CPM harus memprioritaskan masyarakat lokal agar kesejahteraan mereka meningkat dan tidak terjadi benturan kepentingan,” tegasnya.
Sebagai informasi, Badan Musyawarah Adat Provinsi Sulawesi Tengah membawahi 12 kabupaten/kota, 175 kecamatan, 175 kelurahan, dan 1.842 desa, yang seluruhnya memiliki tanggung jawab dalam menjaga keamanan dan kenyamanan wilayahnya.